Seni yang Tak Pernah Mati dalam Karya Jeihan Sukmantoro

Sumber: suarajabar.id

Bukan nama baru di dunia seni rupa Indonesia, Jeihan Sukmantoro adalah sosok yang telah lama dikenal karena keteguhan visinya dan keberaniannya menempuh jalur yang tak biasa. Lewat figur-figur bermata hitam yang kini begitu ikonik, ia membangun bahasa visual yang personal dan penuh makna. Kepergiannya pada 29 November 2019 menyisakan ruang sunyi, namun sekaligus menghidupkan kembali percakapan tentang warisan artistiknya yang tak lekang waktu.

Jeihan Sukmantoro tak hanya dikenal sebagai pelukis ternama, ia adalah potret dari kegigihan seorang seniman dalam merumuskan bahasa visualnya sendiri. Kabar wafatnya pada 29 November 2019, dalam usia 81 tahun, meninggalkan ruang kosong di dunia seni rupa Indonesia. Namun karya-karyanya, terutama figur-figur dengan mata hitam pekat yang ikonik, terus hidup dalam ingatan kolektif penikmat seni.

Jeihan bukan pelukis yang lahir dari jalan lurus dan mulus. Perjalanannya penuh liku, dimulai dari sebuah masa muda yang gelisah. Ia sempat keluar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) karena merasa tidak cocok dengan pendekatan akademik yang kaku. Namun justru dari penolakan terhadap teori itulah Jeihan menemukan kekuatannya: kebebasan untuk mencipta dengan cara yang sangat personal.

Ciri khas Jeihan yang paling dikenali tentu saja adalah mata hitam tanpa bola mata pada figur-figur perempuan, lelaki, hingga tokoh wayang dalam lukisannya. Mata itu bukan sekadar gaya, tapi simbol yang dalam. Jeihan pernah mengatakan bahwa mata kosong adalah ruang meditasi—tempat jiwa manusia berdiam, tempat kekosongan menyuarakan makna.

Bagi Jeihan, seni bukan sekadar pencapaian estetika. Ia adalah refleksi, kontemplasi, bahkan pemberontakan. Ia tidak menggambarkan objek sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana yang ia rasakan. Maka tak heran jika dalam karya-karyanya, yang sederhana sekalipun, selalu terasa aura spiritualitas dan kesunyian yang menenangkan sekaligus menggugah.

Dibalik ketenaran gaya visualnya yang kuat, Jeihan juga dikenal sebagai pribadi yang filosofis, bahkan nyentrik. Ia menulis puisi, membaca sastra, dan sering berbicara tentang kehidupan dengan cara yang lugas namun mendalam. Di studio sekaligus galerinya di kawasan Padasuka, Bandung, ia menciptakan bukan hanya lukisan, tapi juga ruang diskusi lintas disiplin. Tempat itu menjadi rumah bagi gagasan-gagasan alternatif di luar arus utama seni rupa Indonesia.

Jeihan pun tak bisa dilepaskan dari peran pentingnya dalam peta seni kontemporer tanah air. Ia bukan sekadar pelukis, tapi juga perintis. Saat banyak pelukis memilih jalur akademis dan estetika modernis yang ketat, Jeihan justru menempuh jalur spiritual dan instingtif. Pilihan itu sempat membuatnya dikucilkan dari arus utama galeri dan kritik seni. Tapi waktu membuktikan bahwa kesetiaannya pada intuisi membuahkan warisan besar.

Hingga akhir hayatnya, Jeihan masih melukis. Ia tidak pernah benar-benar berhenti berkarya. Dalam beberapa wawancara, ia menyebut bahwa melukis adalah jalan hidup, bukan pekerjaan. Ia melukis bukan untuk menjawab pasar atau tren, tetapi karena ia tidak bisa tidak melukis. Itu adalah cara ia berbicara kepada dunia.

Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai kota besar dunia: Tokyo, New York, Amsterdam, hingga São Paulo. Namun Jeihan tidak pernah terpukau oleh pengakuan luar. Ia lebih tertarik pada keheningan dalam proses kreatif. Ia percaya bahwa seniman sejati adalah mereka yang terus menggali diri, bukan sekadar mengikuti arus.

Warisan Jeihan bukan hanya terletak pada ratusan lukisan yang ia hasilkan, tapi juga pada sikap hidupnya terhadap seni. Ia mengajarkan bahwa orisinalitas lahir dari kejujuran, bahwa kesunyian bisa lebih lantang dari keramaian, dan bahwa tidak mengikuti pakem bukan berarti kehilangan arah.

Kini, setelah kepergiannya, karya-karya Jeihan menjadi semakin penting untuk dibaca ulang. Dalam dunia yang semakin bising dan instan, lukisan-lukisan bermata hitam itu mengingatkan kita untuk diam sejenak—untuk menyelami diri, untuk mencari makna dalam kekosongan, dan untuk mendengarkan suara-suara yang tak terlihat.

Jeihan mungkin telah pergi, tapi seperti katanya dalam salah satu puisinya:

"Lukisan tidak pernah mati, hanya diam menunggu waktu."

Dan waktu itu, kini, telah tiba untuk kembali mendengar suara Jeihan—melalui warna-warna yang ia tinggalkan, dan ruang sunyi yang masih berbicara dari atas kanvas.



Comments

Popular posts from this blog

Pameran Seni di MRT Bundaran HI Angkat Isu Inovasi dan Perlawanan Budaya Palestina

Basoeki Abdullah: Maestro Lukis Indonesia yang Mendunia

Menjelajahi Dunia Seni Lewat Pameran Digital Basoeki Abdullah di Galeri Indonesia Kaya