Ketika budaya terancam dihapus, seni hadir sebagai bentuk perlawanan yang tak bisa dibungkam. Pameran “This is Not an Exhibition: Sumoud, Ramadan, Palestine Cultural Resistance” di Creative Hall MRT Bundaran HI bukan sekadar ajang apresiasi seni, tetapi juga ruang refleksi tentang bagaimana identitas Palestina terus diperjuangkan di tengah tekanan global. Lewat instalasi interaktif, literatur, dan diskusi, pengunjung diajak memahami bahwa seni bukan hanya estetika, melainkan juga kekuatan untuk mempertahankan sejarah, bahasa, dan warisan budaya yang terus diuji oleh ketidakadilan.
Seni tidak lagi sekadar media untuk menampilkan keindahan, tetapi juga menjadi alat perjuangan dalam mempertahankan identitas budaya. Hal ini tampak dalam pameran “This is Not an Exhibition: Sumoud, Ramadan, Palestine Cultural Resistance” yang berlangsung di Creative Hall MRT Bundaran HI, Bank DKI Entrance B, pada 5–9 Maret 2025. Pameran ini menyoroti ancaman penghapusan budaya Palestina yang berlangsung secara sistematis melalui upaya penghilangan sejarah, bahasa, dan warisan budayanya
Melalui berbagai medium seperti instalasi seni, infografik, materi audio-visual, serta pojok baca yang menyediakan beragam literatur tentang Palestina, pameran ini menghadirkan pengalaman mendalam bagi para pengunjung. Tidak hanya sekadar memamerkan karya seni, acara ini juga mengajak pengunjung memahami bagaimana masyarakat Palestina tetap menjaga dan mempertahankan identitas mereka meskipun berada dalam tekanan. Beberapa karya yang ditampilkan bahkan bersifat interaktif, memungkinkan pengunjung merasakan secara langsung bagaimana seni dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

Momentum Ramadan yang bertepatan dengan pameran ini juga menjadi sorotan. Ramadan tidak hanya dimaknai sebagai bulan ibadah, tetapi juga sebagai waktu untuk meningkatkan kepedulian sosial. Salah satu kegiatan utama dalam pameran ini adalah buka puasa bersama yang diselenggarakan pada 5 dan 9 Maret, di mana hidangan khas Timur Tengah disajikan oleh keluarga Palestina yang tinggal di Indonesia. Lebih dari sekadar ajang berbagi makanan, kegiatan ini menjadi simbol solidaritas dan pengingat bahwa perjuangan rakyat Palestina masih berlangsung.
Selain itu, pada 8 Maret, komunitas refu+library mengadakan sesi Reading Palestine, sebuah kegiatan membaca dan berdiskusi tentang literatur yang mengangkat sejarah serta perjuangan rakyat Palestina. Acara ini memberikan perspektif baru bagi pengunjung mengenai bagaimana narasi sejarah dapat mengalami distorsi serta bagaimana seni dan sastra dapat berperan dalam mempertahankan identitas yang terancam hilang.
Pameran ini terselenggara berkat kolaborasi antara Against Dehumanization, MRT Jakarta, refu+ure Indonesia, Students for Justice for Palestine (SJP) ITB, The Palestinian Museum, Serrum Arthandling, dan Merdekast. Dengan pendekatan yang menggabungkan seni, edukasi, dan aktivisme, pameran ini membuktikan bahwa seni tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga media advokasi yang efektif dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan.
Tren eksplorasi seni yang tidak hanya berorientasi pada keindahan visual, tetapi juga menyampaikan pesan sosial dan politik, kini semakin berkembang dalam dunia seni kontemporer. Melalui pameran ini, para seniman menunjukkan bahwa seni bisa menjadi ruang untuk berdialog, berefleksi, dan bahkan berperan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan global.
Comments
Post a Comment