Biennale Jogja 17: Saat Koneksi dan Interaksi Menjadi Ruh dalam Ekosistem Seni

Sumber: Jawapos.com

Biennale Jogja 17 kembali membuktikan bahwa seni bukan sekadar objek pajangan, tetapi ruang hidup yang tumbuh melalui interaksi dan koneksi sosial. Mengusung tema TITEN: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah, pameran ini menghadirkan 69 seniman dari Asia Selatan, Eropa Timur, dan Indonesia, sekaligus mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses kreatif. Dengan pendekatan Trans-Lokalitas dan Trans-Historisitas, Biennale ini memperluas batas seni dari galeri ke ruang-ruang publik dan komunitas, menjadikannya lebih dari sekadar pameran—melainkan pengalaman kolektif yang menghubungkan sejarah, budaya, dan perubahan sosial.

Dalam dunia seni, koneksi dan interaksi bukan sekadar pelengkap, tetapi elemen utama yang membentuk ekosistem kreatif. Biennale Jogja 17, yang mengusung tema TITEN: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah, menjadi bukti bagaimana komunitas seni tumbuh bersama melalui keterlibatan aktif, baik antar seniman maupun dengan masyarakat luas.

Biennale Jogja 17 tidak hanya menampilkan karya 69 seniman dari Asia Selatan, Eropa Timur, dan Indonesia, tetapi juga membangun jembatan komunikasi antara pelaku seni, komunitas, dan masyarakat. Dengan memilih 13 lokasi pameran, termasuk ruang-ruang publik seperti Taman Budaya Yogyakarta dan desa-desa seperti Panggungharjo dan Bangunjiwo, event ini memperluas makna seni dari galeri ke lingkungan sekitar.

Konektivitas dalam seni bukan hanya tentang berbagi ruang, tetapi juga pemikiran. Program publik seperti diskusi, pertunjukan, dan pemutaran film membuka ruang dialog yang memungkinkan masyarakat dan seniman bertukar ide serta pengalaman. Dengan begitu, seni tidak lagi berdiri sendiri sebagai karya individual, tetapi tumbuh sebagai hasil dari interaksi sosial dan pertukaran budaya.

Salah satu hal menarik dari Biennale Jogja 17 adalah bagaimana ia mengubah posisi masyarakat dari sekadar penonton menjadi bagian aktif dalam proses kreatif. Keterlibatan warga dalam berbagai proyek seni membentuk hubungan yang lebih erat antara seniman dan komunitas, menciptakan karya yang tidak hanya bersifat estetis tetapi juga memiliki relevansi sosial yang mendalam.

Dengan mengusung konsep Trans-Lokalitas dan Trans-Historisitas, Biennale ini menyoroti cara hidup dan pengetahuan yang berkembang di luar perspektif dominan dunia seni Barat. Pendekatan ini mendorong eksplorasi praktik seni yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat, menjadikan seni sebagai alat refleksi sekaligus aksi.

Konsep Trans-Lokalitas menunjukkan bagaimana seni tidak terbatas oleh batas geografis, melainkan tumbuh melalui pertukaran antarbudaya yang terus berlangsung. Sementara itu, Trans-Historisitas menekankan pada bagaimana sejarah dan pengetahuan lokal berkontribusi terhadap perkembangan seni kontemporer.

Pendekatan ini terlihat jelas dalam berbagai proyek yang melibatkan komunitas, di mana narasi lokal dan tradisi masyarakat menjadi sumber inspirasi utama bagi para seniman. Hal ini menciptakan jalinan yang kuat antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam karya seni yang dihadirkan.

Biennale Jogja 17 juga menunjukkan bagaimana seni dapat berfungsi sebagai alat pemberdayaan masyarakat. Melalui program-program partisipatif, masyarakat diajak untuk tidak hanya melihat, tetapi juga terlibat langsung dalam penciptaan karya seni.

Sebagai contoh, di beberapa lokasi seperti desa Panggungharjo dan Bangunjiwo, proyek seni berbasis komunitas dijalankan untuk merepresentasikan dinamika sosial dan kearifan lokal. Pendekatan ini membuat seni menjadi lebih dekat dan relevan bagi masyarakat sekitar.

Di era digital dan globalisasi, koneksi dalam dunia seni semakin luas, tetapi Biennale Jogja 17 membuktikan bahwa hubungan langsung dan interaksi fisik tetap menjadi kunci dalam membangun komunitas seni yang solid. Ketika seniman berbagi ruang dan waktu dengan masyarakat, mereka tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga membangun jaringan yang dapat bertahan lama.

Biennale Jogja 17 bukan sekadar pameran seni, tetapi sebuah pengalaman kolektif yang memperlihatkan bahwa seni hidup dan berkembang dalam jaringan yang luas. Dengan menghubungkan seniman, komunitas, dan masyarakat, event ini menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi ruang dialog yang dinamis dan terus berevolusi.

Lebih dari sekadar ajang apresiasi, Biennale ini mengajarkan bahwa seni bukanlah sesuatu yang eksklusif, melainkan bagian dari kehidupan yang terus bertransformasi melalui koneksi dan interaksi. Dengan merangkul pendekatan yang lebih partisipatif dan inklusif, Biennale Jogja 17 menjadi model bagaimana seni bisa tumbuh bersama komunitas dan menjadi medium perubahan sosial.

Biennale Jogja 17 tidak hanya menampilkan karya seni yang luar biasa, tetapi juga memperlihatkan bagaimana seni dapat menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang. Dengan fokus pada keterlibatan masyarakat, eksplorasi konsep Trans-Lokalitas dan Trans-Historisitas, serta penggunaan berbagai ruang publik dan komunitas, event ini berhasil menciptakan pengalaman yang lebih dari sekadar pameran seni biasa.

Koneksi dan interaksi dalam ekosistem seni menjadi kunci utama dalam membangun pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman perspektif, budaya, dan sejarah. Biennale ini memberikan contoh nyata bagaimana seni dapat berkembang melalui kolaborasi, bukan hanya antara seniman tetapi juga dengan lingkungan sekitarnya.

Dengan pendekatan yang lebih terbuka dan mengedepankan nilai-nilai partisipatif, Biennale Jogja 17 berhasil membuktikan bahwa seni tidak hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dihayati dan dipraktikkan bersama.

Sumber: Konferensi Pers Biennale Jogja 17 https://youtu.be/l6u6_ALIG_w

Comments

Popular posts from this blog

Pameran Seni di MRT Bundaran HI Angkat Isu Inovasi dan Perlawanan Budaya Palestina

Basoeki Abdullah: Maestro Lukis Indonesia yang Mendunia

Menjelajahi Dunia Seni Lewat Pameran Digital Basoeki Abdullah di Galeri Indonesia Kaya